Minggu, 09 Oktober 2011

Tetaplah Menatap Bintangmu


Malam kemarin cuaca sangat cerah. Kilauan bintang tampak ramai menghiasi gelapnya langit. Hingga waktu shubuh masih tampak kesejukan mereka yang tersorot oleh mata. Aku sibukkan mataku menyisiri angkasa yang penuh dengan milyaran bintang berhamburan. Senang rasanya. Hingga hasrat kekanak-kanakanku muncul untuk memetik meraka yang bergelantungan di sana.

Sesaat setelah kupuaskan indera penglihatanku dengan benda-benda yang gemerlap tersebut, mataku terhenti dan fokus pada satu bintang yang paling terang diantara mereka. Cahayanya begitu terang dan kilauannya yang menawan. Belum lama aku memandanginya, hatiku mulai bergemuruh.

“Pantaskah?” kata hatiku.

“Bisakah?” bisiknya kemudian.

Akupun tidak tahu mengapa demikian. Aku mulai berpikir untuk menerjemahkannya. Bayang-bayang masa lalu yang kelam hadir. Sederet daftar kegagalan dan ketidakpuasan diri terpampang kembali di pikiran.

“ah, hiraukan!” pinta sisi hatiku yang lain.

Sekejap kutenangkan diri, kupejamkan mata, menarik nafas dalam, kuhembuskan sambil kubuka kembali mataku.

“tak akan kubiarkan kegalauan membuat mendung di hati.” batinku berbisik.

Kehangatan pancaran bintang-bintang tersebut seakan menyapu debu kegelisahanku. Aku menyadari banyaknya kesuraman di masa laluku, tidak sedikit pula kegagalan di belakang yang senantiasa menarikku mundur kala mulai bergerak ke depan.

Namun naluriku tak lelah membelaku, tak segan membimbingku berjalan, dan tak henti-hentinya berbisik “tetaplah menatap bintangmu”

Iya, bintangku masih selalu bersinar terang di hadapanku. Tak peduli seberapa gelapnya dibelakangku. Aku harus terus melangkah ke depan. Aku juga tidak perlu khawatir, karena bintangku yang begitu indah senantiasa menemaniku berjalan.

Sabtu, 08 Oktober 2011

Baik Itu Menenangkan



Saat berbohong ada rasa yang mengganjal di hati. Sesak dan terasa tidak nyaman. Ketika kebohongan yang dilakukan ternyata ketahuan. Malu kan yang didapat. Demikianlah bohong yang merupakan sikap tercela yang tidak patut dilakukan oleh siapapun, apapun profesinya. Belum lagi bohong itu bikin orang ketagihan, terbukti satu kebohongan akan diikuti kebohongan-kebohongan yang lain untuk menutupinya.

Memang kita semua pernah dihadapkan dalam situasi sehingga kita tergoda untuk berkata bohong. Entah itu hanya cerita yang ditambah-tambahkan biar terkesan lebih seru, atau bohong untuk menutupi sesuatu yang mana kita akan malu jika berkata jujur. Semua itu tetap akan membuat hati kita tidak tenang.

Pada lebaran kemarin, saya diberi kesempatan untuk bisa berkunjung ke rumah beberapa guru-guru saya ketika SMA. Disamping rumah dari guru-guru saya tersebut tidak terlalu jauh dari tempat tinggal saya, ada beberapa guru yang memang ingin sekali saya temui. Rasa kangen dan semangat silaturrahim itulah yang melatarbelakanginya.

Sudah merupakan keniscayaan jika bertemu dengan seseorang topik perbincangan sebagai pembuka adalah kabar dan kesibukan, kemudian bagaimana perkembangan dari apa yang ditekuni tersebut. Tampak sederhana dan tidak ada yang aneh untuk ukuran normal. Tapi akan menjadi lain bahkan berat bagi sebagian orang.

Saya pribadi yang seharusnya sudah bisa lulus atau sedang dalam tahap akhir dibangku perkuliahan, malah sedang menghadapi masa yang saya anggap sebagai penataran mental dan kesabaran. Bagaimana tidak, jangankan tugas akhir atau skripsi, saya dipusingkan dengan mata kuliah yang hanya selesai sekitar 55% dari seharusnya yang sudah ditempuh, itupun belum terhitung beberapa mata kuliah yang harus mengulangi karena nilai di bawah standard. Wow, keterlaluan sekali diri ini. Hihihi.

Itulah yang saya anggap sebagai sesuatu yang berat ketika seseorang bertanya, “gimana kuliahnya?”, “kapan lulus?”, atau “sudah sampai bab berapa skripsinya?”. Kayaknya saya akan sulit memberikan jawaban meskipun saya buka buku atau cari di internet. Ada-ada saja. Haha.
Tidak ada alasan saya melarang guru-guru saya atau orang lain bertanya seperti itu. Apalagi memarahinya.

Sayangnya saya sering terpeleset untuk berbohong jika dalam kondisi demikian. Motivasi saya sih untuk menyelamatkan muka. Tapi apa gunanya muka selamat tapi tangan, kaki, serta badan lecet dan luka-luka. Hehehe.

Maksudnya saya terpaksa berbohong agar tidak malu. Meskipun sebenarnya saya tidak akan didenda uang atau dipukuli sampai memar kalau berkata apa adanya. Dan kita seharusnya patut bertanya ketika terbesit pernyataan “terpaksa bohong”, emang sebegitu daruratkah harus memaksakan diri?

Berbohong adalah sikap yang salah, dan berbuat salah membuat kita tidak akan tenang. Bayangkan kalau kita sering berbohong, maka otomatis kita banyak kesalahan, dan itu menyebabkan hati kita kerap gelisah. Siapa sih yang mau hidup dalam bayang-bayang kegelisahan? Ayam pun juga bete kalau sering dibikin gelisah (tidak dikasih makan-red).

Sebenarnya tuhan telah memerintahkan kita untuk senantiasa berbuat kebaikan, karena kebaikan selau mendatangkan ketenangan. Singkatnya, sesungguhnya kitalah yang butuh berbuat baik untuk kepentingan diri kita sendiri.

Sudah terlalu capek jiwa ini dengan beban kegelisahan. Perlu adanya perubahan sikap untuk menjadikannya lebih tenang dan tentram. Berkata jujur dan apa adanya terkadang berisiko malu, tetapi malu yang hanya sesaat tidaklah seimbang jika ditukar dengan rasa gelisah berkepanjangan karena berbohong. So, tidak ada alasan lagi bagi kita semua untuk tidak menjadikan diri kita menjadi pribadi yang bahagia karena bisa hidup dalam ketenangan dan ketentraman batin.

Jumat, 07 Oktober 2011

Hijrah Mengukir Sang Mimpi


Pada awal penyebaran ajaran agama islam, kata “hijrah” sangatlah berarti dari dari segi historis. Bisa dikatakan sejak hijrah atau perpindahan yang dilakukan Nabi Muhammad dan para sahabatnya itulah merupakan titik balik dari kebangkitan kekuatan islam yang kala itu sangat lemah akibat desakan dan teror yang dilakukan para musuh-musuh beliau, yakni kaum kafir quraisy.

Semangat itu jua yang melatarbelakangiku untuk menjemput mimpiku. Ya, impian yang ingin sekali aku realisasikan.

Aku memiliki catatan buruk tentang pendidikan formalku. Banyaknya mata kuliah yang harus diulangi menunjukkan kuliah yang berjalan tidak mulus. Jangankan prestasi akademis, nilai standard pun adalah pemandangan langka di LHS (Lembar Hasil Studi) ku.

Hubungan kurang hangat dengan teman seangkatan semakin melengkapi atribut diriku sebagai mahasiswa yang kurang diperhitungkan. Ditambah lagi ulahku yang tidak mengerjakan tugas sempat menimbulkan ketegangan hingga salah satu teman sekelasku menangis.

Suatu keadaan mengharuskanku untuk memutuskan sesuatu demi masa depanku. Aku harus hijrah!. Hijrah dari keadaan yang hanya menghabiskan energi, pikiran, dan uang pada sesuatu yang aku anggap sia-sia.

Dalam ketermenunganku kucari diriku sendiri. Mencari anugerah tuhan yang bisa kusyukuri. Aku meyakini bahwa setiap manusia diberi suatu kelebihan tersendiri yang mana sangat bersifat personal. Tidak ada yang sama setiap orang.

Muncullah dalam pikiranku untuk mengembangkan kemampuan bahasa Inggrisku. Di bidang ini nampaknya aku memiliki ketertarikan yang besar, ditunjang beberapa kali aku membantu temanku dalam menterjemahkan skripsinya dalam bahasa Inggris.

Setelah berbagai pertimbangan, kecamatan Pare yang berada di wilayah kabupaten Kediri menjadi pilihanku sebagai tempat untuk menimba ilmu dan mengasah kemampuan bahasa Inggrisku. Menurutkan bahasa Inggris adalah sebuah pintu dari rumah pengetahuan dan pergaulan dunia. Jika aku menguasainya, ini akan memudahkanku untuk menjelajahi dunia yang diciptakan tuhan untuk dikembangkan lagi demi kebaikan bersama.

Hari ini adalah hari terakhirku di rumah sebelum keberangkatanku ke Jember yang dilanjutkan ke Kediri. Siap hijrah berarti siap menyambut senyum indah kebahagiaan di masa depan.