Rabu, 29 Februari 2012

Pemuda dan Peramal (A young man and a fortune teller)


Seorang pemuda mendatangi seorang peramal untuk meramalkan nasibnya. Kemudian si peramal melihat garis tangan pemuda itu.

Peramal : “Lihat garis ini!” (sambil teriak). “Itu menunjukkan karirmu. Garisnya sangat pendek.”
Pemuda : (tertunduk lemas)
Peramal : “Dan lihat garis yang ini! Itu menunjukkan cara berpikirmu. Itu juga pendek.”
Pemuda : (semakin pasrah akan nasibnya)
Peramal : “Dan lihat garis-garis silang ini!”
Dengan frustasi pemuda itu berkata.
Pemuda : “ya! pasti masa depanku suram, penuh masalah, tiada keberuntungan yang menghampiriku, dan tak akan pernah ada perubahan yang lebih baik tentang nasibku!!!!”
Peramal : “Bukan! Tanganmu berlumut dan jamuran”
Pemuda : @#@#@!!!

Pesan : Masa depan Anda tidaklah bergantung tangan Anda, peramal, atau orang lain. Percayalah pada diri Anda, jawaban yang Anda cari akan Anda temukan pada diri Anda sendiri.


In English;


A young man visits a fortune teller. He asks the fortune teller to predict his future. And then, the fortune teller sees his palm of hand.


The fortune teller : “You see this line!” (while screaming). “that’s your career line. Very short!”
The young man : (being bent down)
The fortune teller : “and you see this line! That’s your brain line. Short also!!!”
The young man : (getting so sad)
The fortune teller : “and you see this criss-cross on your hand!”
The young man : “Yes! That must be my future. Full of problem. There is no lucky comeover me. And I have never a good future”
The fortune teller : “No! Your hand is moisturize moth”

The message : Your future is not about your hands, fortune teller’s hands, or anybody else’s hand. Just trust yourself, the answer that you are looking for will be in your hand.

I Want To Get Married


Ola adalah seorang wanita muda yang tinggal di Mesir. Dia berumur sekitar 30 tahun. Banyak orang menyarankannya agar cepat menikah. Suatu hari ada seorang pria yang datang ke rumahnya. Dia ingin menikahi Ola. Banyak orang berkata bahwa pria tersebut adalah pria ideal. Wajahnya tampan, pekerjaanya mapan, dan dia tinggal di Italia. Ola percaya bahwa dia bisa mencintainya. Dia senang akhirnya bisa menikah. Namun kemudian dia menemui sebuah masalah. Pria tersebut telah menikah dengan wanita Italia. Ibu dari pria itu menjelaskan bahwa dia menyuruh putranya untuk memiliki isteri kedua. Hukum di Mesir membolehkan seorang pria memiliki hingga 4 orang isteri. Ibunya juga menyuruh sang putra untuk tinggal lebih lama di Mesir. Ola sangatlah marah karenanya! Ini bukanlah apa yang dia duga sebelumnya! Ola dan ibunya mengusir mereka dari rumahnya.

Cerita singkat di atas adalah cuplikan sebuah film yang berjudul “I want to get married”. Film ini diambil dari sebuah buku. Di mana buku tersebut disusun dari coretan blog milik Ghada Abdul Aal. Dia menuliskan pengalaman pribadinya sebagai seorang wanita yang sedang mencari pasangan hidup.

Dalam suatu budaya, ada banyak tradisi yang harus dilakukan orang-orang muda untuk menikah. Di Mesir, segala yang dibutuhkan baik dari pihak pria maupun wanita dalam pernikahan mereka, harus tersedia sebelum pernikahan. Artinya segala sesuatunya harus baru, bahkan kebutuhan seperti pakaian dan perabotan rumah tangga lainya. Ini juga termasuk tempat tinggal untuk mereka pun harus tersedia, semisal rumah atau apartemen. Secara adat, pihak pria lah yang harus menanggungnya. Kemudian ada juga uang untuk pesta pernikahan dan mas kawin itu sendiri. Bagi sebagian kalangan, hal ini akan menghabiskah uang lebih banyak daripada apa yang mereka dapatkan dalam satu tahun!

Banyak pemuda di Mesir tidak mampu untuk menjalankan tradisi tersebut. Informasi dari departemen kependudukan Mesir menunjukkan bahwa banyak pemuda di Mesir yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Harga rumah juga sangat mahal di Mesir belakangan ini. Dan hanya ada sedikit rumah yang tersedia. Tradisi ini membuat pemuda di Mesir takut akan masa depan mereka. Para pria mungkin menabungkan uang mereka hingga cukup untuk digunakan melangsungkan pernikahan. Tetapi ini akan membutuhkan waktu yang sangat lama.

Kondisi ekonomi lah menyebabkan permasalahan ini. Namun banyak orang yang menyalahkan wanita lah sebagai penyebabnya. Mereka mengatakan bahwa para wanita terlalu pilih-pilih siapa yang akan mereka nikahi. Dan mereka meminta persyaratan yang muluk-muluk untuk menyetujui pernikahan. Sebagian pihak berpendapat ini adalah hal yang baru yang diajukan sebagai prasyarat oleh para wanita.

Ghada Abdul Aal adalah seorang wanita karir di bidang medis. Dia mendapatkan gelar di bidang Farmasi. Dia telah berusia 31 tahun, dan belum menikah. Ini yang dia katakan sebagai sebuah masalah. Dan ini adalah permasalahan nyata yang dia dan para wanita Mesir sedang hadapi. Dia mengatakan bahwa tekanan ada di pihak pemuda Mesir.

“Masalah bermula ketika baru lulus kuliah. Dan ini akan berjalan hingga berusia 30 tahun. Dan usia 30 tahun adalah hal yang sangat menyedihkan bagi wanita yang masih single. Inilah kenyataan yang benar-benar terjadi di tempat tinggal saya - yang merupakan kota kecil dan kolot. Dan ketika Anda berusia 30 tahun (dan belum menikah), orang-orang akan menyebut Anda sebagai wanita yang gagal, menyedihkan, jelek, atau apapun itu.”

“Mereka sudah ditanya ketika masih sangat muda, sekitar 3-4 tahun, siapa yang akan dinikahi kelak? Mereka menanamkan nilai bahwa satu-satunya tujuan hidup adalah menikah. Bahkan ketika masa sekolah mereka diberitahu bahwa masa depan perempuan adalah di rumah suaminya. Lantas bagaimana jika seseorang benar-benar belum bisa menikah? Apakah dia harus menyalahkan dirinya sendiri?”

Abdul Aal mulai menuliskan ceritanya di blog tahun 2006. Dia menggunakan blognya sebagai sarana untuk menceritakan pengalamannya dalam pencarian pasangan hidup. Dia menjadikan blognya untuk mengekspresikan hal-hal yang yang lucu dan menarik. Dia mengatakan ini merupakan persoalan nyata yang terjadi di Mesir. Tetapi dia juga sangat serius dalam mencari suami yang dia ungkapkan melaui blognya.

Salah satu masalah yang ditulisnya adalah tentang tradisi di Mesir yang disebut Gawaaz al-salonat. Dalam tradisi ini, seorang pria datang mengunjungi seorang wanita dirumahnya. Si pria, si wanita, dan orang tua kedua belah pihak bertemu dalam waktu yang sangat singkat. Setelah itu si wanita harus memutuskan apakah dia mau menikah si pria atau tidak. Tentu saja setiap orang ingin si wanita menerima si pria dengan cepat- meskipun dia tidak benar-benar menyukainya. Tetapi Ghada Abdul Aal berpendapat ini adalah waktu yang terlalu singkat untuk membuat suatu keputusan yang sangat besar.

“Terkadang, ketika Anda meminta waktu untuk mempertimbangkannya, si pria akan marah. Dia akan berpikir ‘mengapa mesti dipertimbangkan? Tidakkah kamu melihat aku pria sempurna? Tidakkah kamu tahu aku hebat? Apa lagi yang kamu butuhkah? Aku adalah anugerah Tuhan untuk para wanita. Aku punya apartemen. Aku punya pekerjaan. Bagaimana kamu menolaknya?”

Baik wanita maupun pria seakan-akan melihat cerminan dirinya dalam pengalaman yang diungkapkan Ghada Abdul Aal. Dalam program televisi “I want to get married”, tokoh utamanya adalah Ola. Ola adalah karakter yang aslinya merupakan sosok Ghada Abdul Aal itu sendiri. Ola tidak hanya sekadar ingin menikah. Dia menginginkan suami yang baik. Dia menginginkan suami yang akan benar-benar menjadi mitra dan teman hidupnya.

“Jika tujuan Ola hanya sekadar ingin menikah, dia akan menerima pria pertama yang pernah dekat dengannya dalam hidupnya. Tetapi ketika dia menganggapnya sebagai pria yang tidak baik, dia menolaknya dan melanjutkan pencarian. Dia mencari seseorang yang akan membantunya dalam melengkapi hidupnya. Banyak orang datang kepada saya setelah saya menulis buku itu. Mereka seolah-olah merasakan dirinya sendiri dalam karakter tokohnya.”

Program televisi “I want to get merried” menunjukkan bagaimana para pria dan wanita menemukan jalan mereka untuk mengatasi permasalahan tersebut yang berpengaruh dalam pernikahan. Ini memberi pesan bahwa para wanita ingin dilibatkan dalam proses pernikahan. Mereka tidak ingin hanya keluarganya lah yang membuat keputusan. Mereka ingin mengenal lebih jauh dengan seorang pria sebelum menghabiskn sisa umur mereka bersama.

“I want to get married” mendorong pandangan baru tentang pernikahan di Mesir.



In English;



Ola is a young woman living in Egypt. She is about 30 years old, and people have been telling her to get married. A man visits her house. He wants to marry Ola. Some people say that he is the perfect man. He looks beautiful, he has a good job, and he lives in the country of Italy. Ola believes that she may be in love with him. She may finally get married! But then she discovers a problem. The man is already married to an Italian woman! The man's mother explains that she wants him to take a second wife. Egyptian Islamic law permits the man to have four wives. That way, the mother says, he will spend more time in Egypt. Ola is very angry! This is not what she expected at all! Ola and her mother throw the man out of their house.

This short story is from a television program called I Want To Get Married. This show is based on a book. And the book is based on an internet blog by Ghada Abdul-Aal. She writes about her experiences as a young woman looking for a husband.
In any culture, there are many traditions young people follow to get married.

Traditionally in Egypt, everything a young man and woman need for their new marriage must be purchased before they get married. This means everything must be new, even things like clothes and furniture. It also means that the newly married young people must have a place to live - a house or apartment. Traditionally, the man pays for these things. Then, there is also the money for the big wedding parties and the wedding itself. For some people these things may cost more than 15 times the money they make in a year!

Many young people in Egypt just do not have the money to meet these traditional needs. Information from Egypt's Population Council shows that many young men are not employed. Housing prices are also currently very high in Egypt. And there are few houses available. These conditions make many young people in Egypt afraid of their futures. Men may save their money until they have enough to marry. But this may take a few years.

Economic conditions cause some of these problems. But many people also blame women for this problem. They say that women are being too choosey about who they are going to marry. Women want to have a say in who they marry. And they are demanding better qualities in the men they agree to marry. Some people say these are new things that women are requiring.

Ghada Abdul-Aal is a medical professional. She has earned a pharmacy degree. And she is 31 years old and she is not married yet. This, she says, is a real problem. And it is a real problem many young people like her face.
"Yes, the problem starts just after we graduate college. And it goes until you are 30. And 30 is like a death sentence for single women. That is especially true in my home town because it is small and conservative. And when you are 30, it is like people mark you as a failure, or pathetic or ugly or whatever."

And she says the pressure to get married begins even when girls are very young.
"They ask young girls here when they are three or four, who would you like to marry? They plant the idea that your only purpose in life is to get married. Even after she goes to school they tell her that a girl's only future is in her husband's home. So what happens when a girl for any reason cannot get married? Should she set fire to herself?"

Abdul-Aal began her blog in 2006. She used the blog to tell about her experiences finding a husband. Often her blog is very funny. She makes fun of herself and the situations she lives through. She says this is a very popular way of dealing with problems in Egypt. But the blog also deals with the very serious subject of finding a partner to marry - a person to share your life with.

One problem Abdul-Aal wrote about was the Egyptian tradition called Gawaaz al-salonat. In this custom, a man comes to visit a woman at her home. The man, the woman, and both sets of parents meet for a short time. After this time, a woman answers if she will marry the man or not. Usually everyone wants the woman to accept the man very quickly - even if she does not necessarily like him. But Abdul-Aal thinks this is too short a time to make such a big decision.

"Sometimes, when you ask for more time, he will be angry. He will think 'Why do you need more time? Can you not see I am perfect? Can you not see I am great? What else do you need? I am God's gift to women. I am a man; I have an apartment; I have a job. How can you say no?'"

Women and men both see themselves in these experiences. In the television program I Want To Get Married, the main character is Ola. Ola is a character based on Ghada. Ola is not just looking to get married. She also wants a good husband. She wants a husband who will be a true partner and friend.

"If Ola's goal was just to get married, she would have accepted the first man to enter her life. But when she sees that he is not good, she refuses him and moves on. She is looking for someone who will help complete her life. Many women came up to me after I wrote the book. They see themselves in the main character."

The television program I Want To Get Married shows how women and men are finding their way through these new issues affecting marriage. It makes the point that women want to be involved in the marriage process. They do not just want their families to make the decision. They want to spend time with a man before they spend the rest of their lives together.
I Want To Get Married is encouraging new thinking about marriage in Egypt.

Source : http://www.Radio.English.net

BAHASA GLOBAL ( A GLOBAL LANGUAGE)


BAHASA DUNIA (A GLOBAL LANGUAGE)

“Saluton.”

“Saluton. Kiel vi fartas?”

“Bonege, dankon.”

Pernahkan Anda mendengar bahasa tersebut? Barangkali ini terdengar seperti bahasa-bahasa di negara-negara Eropa, semisal bahasa Spanyol dan Jerman. Tetapi bukan keduanya. Melainkan bahasa Esperanto. Mungkin Anda pernah mendengar sebelumnya. Yakni bahasa dunia paling terkenal yang pernah ditemukan.

Konflik dan kekacauan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Hal ini membuat beberapa orang melarikan diri dan bersembunyi. Serta membuat orang lain merasa marah terhadap dunia dan orang-orang di dalamnya. Namun beberapa orang mencoba dan menemukan sebuah cara untuk merubah keadaan.

Ludovic Lazurus Zamenhof adalah salah satu dari orang-orang tersebut. Zamenhof lahir pada tahun 1859. Dia tinggal di kota Bialystok, Polandia. Pada waktu itu kota tersebut merupakan bagian dari wilayah Russia. Ada tiga kelompok etnis utama di kota tersebut; Poles, Belorussia, dan Yahudi. Konflik antara ketiga kelompok tersebut membuat prihatin Zamenhof muda.

Sebagai seorang Yahudi, kehidupan tidaklah mudah. Beberapa tahun lalu, banyak orang-orang Yahudi melarikan diri ke Polandia untuk keselamatan. Tetapi onflik terus berlanjut. Bahkan anak-anak merupakan bagian dari konflik. Mereka berkelahi di sekolah dan di jalan-jalan. Zamenhof tumbuh di sebuah lingkungan dengan kebencian dan ketakutan yang mendalam.

Bagaimanapun Zamenhof tidak merasakan kebencian dan kemarahan di dalam dirinya. Beberapa orang mengatakan ibunya lah yang membuatnya menjadi pribadi yang baik. Ibunya percaya bahwa semua manusia adalah anak dari tuhan yang tercinta (sesuai keyakinannya). Zamenhof muda mulai memikirkan cara-cara untuk merubah lingkungan di mana dia tinggal.

Zamenhof percaya bahwa hambatan-hambatan dalam berbahasa merupakan bagian besar dari permasalahan. Dia berpikir jika orang-orang berbicara bahasa yang sama, mereka akan berkomunikasi dengan lebih baik. Sebagai seorang bocah, dia percaya bahwa persamaan bahasa akan mengakhiri kebencian. Dia memimpikan sebuah akhir dari kebencian politik dan rasial. Dia memimpikan sebuah dunia yang bersatu.

Zamenhof memulai percobaan dalam pembuatan suatu bahasa internasional. Pada awalnya dia mencoba menciptakan sebuah bahasa dengan kaya tata bahasa. Tetapi ini menjadi sangat sulit dipahami. Zamenhof mempelajari banyak bahasa, termasuk Bahasa Jerman, Perancis, Latin, dan Yunani. Dia memutuskan bahwa bahasa internasional harus sesederhana mungkin. Dia bekerja keras selama bertahun-tahun. Dia memulai dengan “uji” bahasa.

Bagaimana ia menguji suatu bahasa yang baru? Zamenhof mencoba menterjemahkan buku-buku, cerita-cerita, doa-doa yang ada, dan bagian dari injilnya kaum kristiani. Mari kita dengar bagaimana hasilnya Esperanto.
“Cio estigis per li; kaj aparte de li estigis nenio, kio estigis. En li estis la vivo, kaj la vivo estis la lumo de la homoj. Kaj la lumo brilas en la mallumo, kaj la mallumo gin ne venkis.”
Yang artinya, “dan dengan kata ini, Tuhan menciptakan segala sesuatu. Tiada satupun dibuat tanpa kata (nama). Segala yang diciptakan Tuhan menerima kehidupan darinya. Dan kehidupan-Nya memberi cahaya untuk semua orang. Cahaya terus bersinar dalam kegelapan. Dan kegelapan tidak pernah menghentikan kegelapan.”

Setelah Zamenhof telah menguji bahasa tersebut, dia mempublikasikan bukunya. Dia menyebutnya, ‘Lingvo internacia. Antauparolo kaj plena lernolibro.’ Yang artinya ‘Bahasa Internasional, prakata dan buku teks.”
Zamenhof tidak mencantumkan nama aslinya dalam buku itu. Dia menggunakan nama ‘Doktoro Esperanto.’ Yang artinya ‘doktor yang penuh harapan’
Jadi, coba kita lihat Esperanto lebih dekat. Sekitar 75% dari kosakatanya berasal dari bahasa latin dan bahasa Romance seperti bahasa Perancis.

Sekitar 20% berasal dari bahasa Jerman dan Inggris. Dan sisanya berasal dari bahasa Russia, Polandia dan Yunani. Alfabet Esperanto memiliki 28 huruf. Huruf tersebut merupakan ‘phonetic’, artinya masing-masing diucapkan sesuai dengan tulisannya. Tidak ada pengecualian. Kebanyakan tata bahasa dari Esperanto mengikuti satu dari 16 aturan dasar tata bahasa Inggris.
Dalam esperanto semua kata benda berakhir dengan ‘O’. Contoh, kata ‘bird’ (burung dalam bahasa Inggris) adalah ‘birdo.’ Jika Anda ingin mengatakan lebih dari satu ‘bird’, ini menjadi ‘birdoj’

Berikut adalah hal menarik lainnya. Jika Anda menambahkan ‘mal’ di awal kata, hal ini akan menjadikan lawan katanya. Contoh- alta berarti tinggi. Malalta berarti pendek (rendah). Seka berarti kering. Malseka berarti basah. Pura berarti besih. Bisakah Anda menebak untuk kotor? Malpura!

Tidak satupun orang mengetahui dengan pasti berapa banyak penutur Esperanto. Beberapa orang menaksir sekitar 2.000.000. hal ini berdasarkan informasi sebagaimana jumlah penjualan buku bahasa Esperanto dan pengguna internet. Esperanto kebanyakan digunakan di Eropa bagian timur dan tengah.

Penutur Esperanto telah mengembangkan beberapa adat kebiasaan tertentu yang mirip. Tetapi banyak orang memperdebatkan bahwa ‘bahasa internasional’ seharusnya tidak memiliki budaya tertentu. Mereka mengatakan bahwa suatu bahasa internasional seharusnya menghindari pembagian rasial dan kultural.

Penutur Esperanto mengatakan bahwa bahasa Esperanto menjadikan komunikasi lebih mudah ketika bepergian. Mereka mengatakan bahwa Esperanto adalah bahasa kedua yang baik- lebih baik daripada yang lainnya seperti bahasa Perancis, Spanyol, Inggris.


Faktanya, orang-orang di beberapa tempat di dunia menggunakan bahasa-bahasa tersebut-lebih banyak daripada Esperanto. Tetapi ada banyak juga penutur asli bahasa-bahasa tersebut.

Ide dari Esperanto adalah bahasa ini menjadikan setiap orang sederajat- karena bahasa tersebut tidak dimiliki kelompok tertentu manapun. Bahasa Esperanto dimiliki komunitas internasional! Zamenhof berharap bahwa ini akan mempersatukan semua orang- dan membantu sebuah dunia yang damai.

Banyak orang memperdebatkan bahwa bahasa itu sendiri tidak dapat menciptakan kedamaian. Orang-orang di negara yang sama, dengan bahasa dan budaya yang sama pun masih berselisih dan bertengkar.

Zamenhof adalah seorang yang idealis. Dia percaya bahwa dunia bisa berubah. Secara, bahasa tersebut dinamakan ‘Esperanto’-‘seseorang yang berharap.’ Dan seseorang yang memiliki harapan dapat melakukan lebih banyak daripada seseorang tanpa harapan! Zamenhof tidak melihat realisasi mimpinya di sepanjang hidupnya.

Masih ada kesalahpahaman dan perdebatan di antara orang-orang. Tetapi Esperanto telah menyatukan banyak orang lintas dunia. Ia melintasi setidaknya beberapa bagian rasial dan budaya. Di sebuah situs internasional untuk penutur Esperanto, seseorang telah menulis,
“Menjadi seorang penutur Esperanto berarti bahwa saya adalah bagian dari komunitas dunia. Mereka adalah orang-orang yang meyakini kesetaraan-seperti saya. Mereka berseru seperti ‘kita terlahir setara’ Esperanto membebaskan orang-orang mengungkapkan ide-ide tersebut.”


Materi diambil dari http://www.radioenglish.net.


In English :

A GLOBAL LANGUAGE

“Saluton.”

“Saluton. Kiel vi fartas?”

“Bonege, dankon.”

Did you recognize that language? It sounds European - a little like Spanish, or German. But it is neither. It is called Esperanto. You may have heard Esperanto before! It is the most popular invented world language. Today’s Spotlight is on Esperanto.

Conflict and troubles affect people in different ways. They make some people want to run and hide. And they make other people feel angry at the world and the people in it. But some people try and find a way to change things.

Ludovic Lazurus Zamenhof was one of these people. Zamenhof was born in 1859. He lived in the city of Bialystok, Poland. At that time the city was part of Russian territory. There were three major ethnic groups in the city; Poles, Belorusians and Yiddish-speaking Jews. The conflicts between these groups saddened the young Zamenhof. As a Jew, life was not easy. Several hundred years ago many Jews fled to Poland for safety. But conflicts continued. Even children were part of the conflicts. They had fights in the schools and on the streets. Zamenhof grew up in an environment of deep hatred and fear.

However, Zamenhof did not feel hatred and anger in his heart. Some people say that his mother helped to create his good nature. His mother believed that all human beings were children of a loving God. The young Zamenhof began to think of ways to change the hostile environment he lived in.

Zamenhof believed that language barriers were a big part of the problem. He thought that if all people could speak the same language, they would communicate better. As a child, he believed that a common language would end hatred. He dreamed of an end to political and racial hatred. He dreamed of a united world.

Zamenhof began experimenting in creating an international language. In the beginning he tried to create a language with rich grammar. But this became very complex. Zamenhof learned many languages, including German, French, Latin and Greek. He decided that the international language must be as simple as possible. He worked hard for many years. He began by ‘testing’ the language.

How do you test a new language? Well, Zamenhof tried translating existing books, stories, prayers and parts of the Christian Bible. Let us hear how Esperanto sounds!
“Cio estigis per li; kaj aparte de li estigis nenio, kio estigis. En li estis la vivo, kaj la vivo estis la lumo de la homoj. Kaj la lumo brilas en la mallumo, kaj la mallumo gin ne venkis.”
In English this means, ‘And with this Word, God created all things. Nothing was made without the word. Everything that was created received its life from him. And his life gave light to everyone. The light keeps shining in the dark. And darkness has never put it out.’

After Zamenhof had tested the language he needed to publish his book. He called it, ‘Lingvo internacia. Antauparolo kaj plena lernolibro.’ This means ‘International Language. Foreword and Complete Textbook.’ Zamenhof did not put his real name on the book. Instead he used the name ‘Doktoro Esperanto.’ This means ‘Doctor Hopeful.’
So let us take a closer look at Esperanto. About 75% of the words come from Latin and Romance languages like French. About 20% come from German and English. And the rest comes from Russian, Polish and Greek. 28 letters form the Esperanto alphabet. And the language is ‘phonetic’ - you say every word exactly as it is written. There are no exceptions. Most of the grammar of Esperanto follows one of 16 basic rules.
In Esperanto all nouns end with ‘O’. For example the noun bird is ‘birdo.’ If you have more than one bird it becomes ‘birdoj’.

Here is another interesting thing. If you add ‘mal’ to the beginning of a word, it gives the word the opposite meaning. For example - alta means tall. Malalta means short. Seka means dry. Malseka is wet. Pura is clean. Can you guess what dirty is? Malpura!

No one knows exactly how many people speak Esperanto. Some people estimate around 2,000,000. This is based on information such as sales of Esperanto language books and Internet users. Esperanto is most common in Central and Eastern Europe. Speakers of Esperanto have developed some similar customs. But, many people argue that an ’international language’ should not have its own culture. They say that an international language should avoid cultural and racial divides.

Speakers of Esperanto say that the language makes communication easier when travelling. They say that Esperanto is a good second language - better than others like French, Spanish or English.

People in many places in the world use these languages - more than Esperanto! But there are also many native speakers of these languages. The idea of Esperanto is that it makes everyone equal - because it does not ‘belong’ to any particular group. It belongs to the international community! Zamenhof hoped that this would unite people - and help create a peaceful world.

Most people argue that language alone cannot create peace. People in the same country, with the same language and culture still argue and fight.

Zamenhof was an idealist. He believed that the world could change. After all, the language is called ‘Esperanto’ - ‘one who hopes.’ And a person who has hope can do more than a person without hope! Zamenhof did not see his dream in his lifetime. There is still misunderstanding between people. But Esperanto has united many people across the world. It has crossed at least some cultural and racial divides. On an international website for Esperanto speakers, one person wrote,
“Being a speaker of Esperanto means that I am part of a worldwide community. They are people who believe in equality - like me. There are sayings like ‘We are all born equals.’ Esperanto lets people express these ideas.”


The writer of today’s program was Marina Santee. At http://www.radioenglish.net