Sabtu, 08 Oktober 2011

Baik Itu Menenangkan



Saat berbohong ada rasa yang mengganjal di hati. Sesak dan terasa tidak nyaman. Ketika kebohongan yang dilakukan ternyata ketahuan. Malu kan yang didapat. Demikianlah bohong yang merupakan sikap tercela yang tidak patut dilakukan oleh siapapun, apapun profesinya. Belum lagi bohong itu bikin orang ketagihan, terbukti satu kebohongan akan diikuti kebohongan-kebohongan yang lain untuk menutupinya.

Memang kita semua pernah dihadapkan dalam situasi sehingga kita tergoda untuk berkata bohong. Entah itu hanya cerita yang ditambah-tambahkan biar terkesan lebih seru, atau bohong untuk menutupi sesuatu yang mana kita akan malu jika berkata jujur. Semua itu tetap akan membuat hati kita tidak tenang.

Pada lebaran kemarin, saya diberi kesempatan untuk bisa berkunjung ke rumah beberapa guru-guru saya ketika SMA. Disamping rumah dari guru-guru saya tersebut tidak terlalu jauh dari tempat tinggal saya, ada beberapa guru yang memang ingin sekali saya temui. Rasa kangen dan semangat silaturrahim itulah yang melatarbelakanginya.

Sudah merupakan keniscayaan jika bertemu dengan seseorang topik perbincangan sebagai pembuka adalah kabar dan kesibukan, kemudian bagaimana perkembangan dari apa yang ditekuni tersebut. Tampak sederhana dan tidak ada yang aneh untuk ukuran normal. Tapi akan menjadi lain bahkan berat bagi sebagian orang.

Saya pribadi yang seharusnya sudah bisa lulus atau sedang dalam tahap akhir dibangku perkuliahan, malah sedang menghadapi masa yang saya anggap sebagai penataran mental dan kesabaran. Bagaimana tidak, jangankan tugas akhir atau skripsi, saya dipusingkan dengan mata kuliah yang hanya selesai sekitar 55% dari seharusnya yang sudah ditempuh, itupun belum terhitung beberapa mata kuliah yang harus mengulangi karena nilai di bawah standard. Wow, keterlaluan sekali diri ini. Hihihi.

Itulah yang saya anggap sebagai sesuatu yang berat ketika seseorang bertanya, “gimana kuliahnya?”, “kapan lulus?”, atau “sudah sampai bab berapa skripsinya?”. Kayaknya saya akan sulit memberikan jawaban meskipun saya buka buku atau cari di internet. Ada-ada saja. Haha.
Tidak ada alasan saya melarang guru-guru saya atau orang lain bertanya seperti itu. Apalagi memarahinya.

Sayangnya saya sering terpeleset untuk berbohong jika dalam kondisi demikian. Motivasi saya sih untuk menyelamatkan muka. Tapi apa gunanya muka selamat tapi tangan, kaki, serta badan lecet dan luka-luka. Hehehe.

Maksudnya saya terpaksa berbohong agar tidak malu. Meskipun sebenarnya saya tidak akan didenda uang atau dipukuli sampai memar kalau berkata apa adanya. Dan kita seharusnya patut bertanya ketika terbesit pernyataan “terpaksa bohong”, emang sebegitu daruratkah harus memaksakan diri?

Berbohong adalah sikap yang salah, dan berbuat salah membuat kita tidak akan tenang. Bayangkan kalau kita sering berbohong, maka otomatis kita banyak kesalahan, dan itu menyebabkan hati kita kerap gelisah. Siapa sih yang mau hidup dalam bayang-bayang kegelisahan? Ayam pun juga bete kalau sering dibikin gelisah (tidak dikasih makan-red).

Sebenarnya tuhan telah memerintahkan kita untuk senantiasa berbuat kebaikan, karena kebaikan selau mendatangkan ketenangan. Singkatnya, sesungguhnya kitalah yang butuh berbuat baik untuk kepentingan diri kita sendiri.

Sudah terlalu capek jiwa ini dengan beban kegelisahan. Perlu adanya perubahan sikap untuk menjadikannya lebih tenang dan tentram. Berkata jujur dan apa adanya terkadang berisiko malu, tetapi malu yang hanya sesaat tidaklah seimbang jika ditukar dengan rasa gelisah berkepanjangan karena berbohong. So, tidak ada alasan lagi bagi kita semua untuk tidak menjadikan diri kita menjadi pribadi yang bahagia karena bisa hidup dalam ketenangan dan ketentraman batin.